Movie Review - GHOST CHILD (aka TUYUL / TOYOL)

Saya yakin, saat menonton film ini, ada 2 pikiran yang muncul bersamaan dalam benak Anda : Suka dan Tidak Suka. Suka karena film produksi Singapura ini secara gamblang menampilkan beberapa bagian budaya dan legenda Indonesia, tanpa diklaim sebagai milik Singapura.
 
Namun di waktu yang bersamaan, Anda pun bisa Tidak Suka karena ada beberapa bagian yang ditampilkan dengan dialog yang sedikit "menohok" bangsa Indonesia. Karena itu, butuh kedewasaan yang cukup baik untuk dapat menyikapi film ini.

Walau demikian, saya rasa perlu memberikan acungan jempol serta apresiasi kepada para pendukung film ini karena telah memasukkan unsur budaya Indonesia serta memperkenalkannya kepada publik. Tidak hanya asal memasukkan, namun jelas terlihat jika mereka benar-benar melakukan survei dan penelitian sebelum memutuskan untuk mengangkat budaya Indonesia tersebut.

Film arahan sutradara Gilbert Chan ini diperani Chen Han Wei, Jayley Woo, dan Carmen Soo. Ditayangkan di Singapura tanggal 7 Maret 2013 silam, film ini langsung menjadi film box-office di negaranya. Ceritanya sendiri sederhana, bahkan bisa dikatakan sangat "standar" : Choon (diperani Chen Han Wei) adalah seorang duda yang satu waktu melakukan perjalanan bisnis ke sebuah daerah di Indonesia (saya asumsikan daerah Jawa Tengah, mengingat daerahnya masih banyak hutan, serta pakaian yang dikenakan orang di kampung daerah tersebut). Satu ketika, dia menyelamatkan seorang wanita peranakan Indonesia-China bernama Na yang dikejar oleh beberapa pria.

Suasana Premiere GHOST CHILD di Singapura
Setelah menyelamatkan wanita itu, Choon membawa Na pulang ke Singapura untuk kemudian dinikahinya. Tanpa diketahui Choon, Na ternyata membawa seekor Tuyul. Mahluk tersebut awalnya adalah janin Na sendiri yang mati, kemudian dimanterai oleh seorang dukun (teman  suami Na) agar berubah menjadi tuyul dan mencuri demi keuntungan sang suami. Na membawa tuyul tersebut kabur, dan ditolong Choon.

Sejak Na tinggal bersama keluarga Choon, kehidupan keluarga tersebut berantakan. Bahkan ibu Choon nyaris tewas saat berniat membuang barang-barang milik sang Tuyul. Demi menyelamatkan keluarga Choon, Na akhirnya memutuskan meninggalkan keluarga Choon dan kembali ke kampung halamannya di Indonesia.

Hal menarik dalam film ini adalah penggunaan bahasa Indonesia yang ada dalam film itu sangat "Indonesia banget". Intonasi, artikulasi, aksen, dan tata-bahasa verbal terdengar sangat sempurna seperti layaknya orang Indonesia asli yang berbicara. Padahal orang-orang tersebut adalah para artis Singapura dan Malaysia yang biasanya menggunakan aksen dan kosakata Melayu yang "aneh" di telinga orang kita. Namun pengecualian itu bisa terlihat di film ini.

Mungkin hal yang sedikit mengganggu dalam film ini adalah penggambaran wanita Indonesia yang diidentikkan sebagai "pembantu rumah tangga" dan wanita gampangan. Seperti yang tampak dalam sebuah adegan saat Na berbelanja di pasar, tiba-tiba dia dipanggil seorang penjual buah yang kemudian menyebutnya sebagai "pembantu rumah tangga" serta diajak main ke Pulau Sentosa.

Carmen Soo
Lola Amaria
Di luar itu, saya menganggap film berdurasi 88 menit ini adalah film horror yang menarik - walau alur ceritanya sangat biasa-biasa saja - sekaligus "jujur". Mereka tidak meng-klaim budaya Indonesia yang ditampilkan dalam film itu sebagai budaya Singapura. Bahkan "tuyul" pun disebut sebagai bagian dari cerita supranatural Indonesia (walau sebenarnya jika dianalisa dari sudut mitologi, "tuyul" juga adalah bagian cerita supranatural masyarakat Thailand, Malaysia, dan Filipina).

Satu hal yang paling mengecewakan saya adalah tidak ada satu pun orang Indonesia yang berperan dalam film ini. Bahkan pemeran Na dalam film ini adalah Carmen Soo, model dan aktris populer Malaysia. Padahal wajah Carmen Soo sangat mirip dengan Lola Amaria. Mungkin pertimbangannya karena Carmen Soo menguasai bahasa Mandarin - yang merupakan bahasa utama dalam film ini -sehingga dia dipercayai memerani Na.Seandainya Lola Amaria pun bisa, mungkin ceritanya akan berbeda.....


DO YOU KNOW? 
Carmen Soo adalah model kelahiran Malaysia yang menguasai bahasa Mandarin, Melayu, Canton, Inggris, dan Tagalog. Dia adalah salah satu artis papan atas Malaysia yang tidak saja populer di negaranya sendiri, namun juga di Singapura, Hong Kong, dan Filipina. Soo pertama kali bermain film di tahun 1999, yaitu di film "Gorgeous" bareng Jackie Chan dan Shu Qi. Dia mulai banyak mendapatkan tawaran bermain serial drama televisi setelah bermain dalam mini seri 4 episode produksi Filipina berjudul "Your Song". Di serial tersebut, dia berpasangan dengan Christian Bautista, penyanyi dan artis populer asal Filipina.

Sedangkan Chen Hanwei adalah aktor Singapura kelahiran Malaysia. Sejak menjadi finalis ajang Star Search Singapura tahun 1988, Hanwei mulai banyak mendapat tawaran bermain di sinetron Singapura. Puncak kepopulerannya terjadi tahun 1995 saat dia berhasil membawakan peran seorang guru penuh motivasi dan perhatian dalam serial "The Morning Express". Dalam serial itu, Hanwei mendapat kesempatan untuk menyanyikan lagu tema serial tersebut. Ghost Child adalah film layar lebar pertama yang diperani Hanwei.

Film ini menjadi film horror kedua sutradara Gilbert Chan yang meraih sukses dan menjadikannya sebagai sutradara papan atas Singapura. Sebelumnya film buatannya, 23 : 59 (2011) yang juga bergenre horror, menjadi film sleeper box-office (film yang tidak dipromosikan besar-besaran, tetapi meraih penghasilan yang luar biasa). 

Saat shooting, banyak kejadian menyeramkan yang terjadi. Misalnya di rumah tempat shooting film berlangsung, Sutradara Gilbert Chan menemukan kelereng, mainan, dan permen yang terbungkus sarung dan disimpan di bawah pohon di belakang rumah. Hal lain yang membuat bulu kuduk berdiri adalah saat Chen Hanwei membuat foto dirinya sendiri saat shooting berlangsung. Foto itu menunjukkan ada sosok kabur yang berdiri di sebuah sudut gelap sedang menatapnya. Hanwei mencetak foto itu dan menunjukkannya pada publik saat press-conference Ghost Child berlangsung bulan Maret 2013 silam di Singapura.

Comments